Hubungan
Tanpa Nama
Akhir – akhir ini, entah apa yang kurasakan. Memang aku tak seperti
mereka, aku yang tak sempurna dimatanya. Kisah ini bermula sebelum aku mengikuti
rutinitas tahunan sekolahku, Study Tour ke
Bali. Tepatnya, Januari lalu. Kedekatanku dengannya, mungkin tak seberapa waktu
itu. Namun hal indah banyak terjadi saat aku berada disana, di Bali. Memang,
sebelumnya tak ada yang istimewa diantara kita. Namun, seiring dengan waktu,
hal itu rasanya berubah. Sikap istimewanya kepadaku, seolah-olah menandakan
bahwa kita telah menjalin hubungan yang... mungkin lama. Perhatian, kepedulian,
itu yang berusaha ia realisasikan. Namun, hatiku belum mampu untuk merasakan
sentuhan hangatnya. Belum mampu menunjukkan sikap lebih kepadanya. Mungkin karena hati ini belum
berbicara tentangnya. “Radit, Radit!” bisikku dalam hati. Dia yang berharap tak
ingin dikecewakan, membuatku harus dan harus berusaha untuk respect kepadanya, kepada Radit. Saat disana (Bali), pulsa HP ku rasanya
sudah tak kuat lagi membalas pesan-pesan singkat dari cowok berparas manis itu.
Komunikasi ini terus berjalan sepanjang perjalanan berangkat, nyampe’ pulang ke Tulungagung. Kota kecil paling
selatan Jawa Timur, tempat dimana aku tinggal dan dibesarkan. Seperti udah gak kehitung lagi, berapa kali aku
menancapkan kabel charger ke HP yang kubeli 2 tahun lalu ini. Ya, biar nggak mati gitu. Setiap lokasi wisata
yang kami kunjungi, aku selalu dipertemukan dengannya, entah Radit yang
berusaha mengikutiku atau memang dunia ini terlalu sempit untukku tidak bertemu
dengan cowok berambut hitam pekat ini. Semenjak dari Pulau Dewata, kedekatanku
dengannya memang terus dan terus bertambah, tak seperti saat pertama. Rasanya
Bali sedang tersenyum sipu melihat hubungan tanpa nama ini.
Ketika kenyamanan sudah kurasakan, dan juga kedekatan ini yang terhitung
cukup lama, tak kusangka ada hal yang rasanya mengusik hati kecilku. Ternyata,
selama ini dia sudah memiliki sosok pujaannya sendiri. Yang mungkin dia lebih
dariku. Apakah aku cemburu? “ Sadar Keyla! Sadar! Radit itu hanya temanmu,
bukan pacarmu! Apakah kamu tidak menyadari itu? Dia hanya menganggapmu teman nggak lebih” jeritku dalam hati. Seketika itu aku bercerita pada “pendamping”
setiaku, Bunga namanya. Ia adalah orang yang sudah kuanggap sebagai sahabat
terbaik. Sahabat yang selalu ada untukku. Aku pikir tutur lembutnya bisa
membuatku merasa lebih baik. Mungkin, hanya dia yang tau betapa hancurnya perasaanku
saat itu. Senyum palsuku menutupi semua kegundahan, keresahan yang sedang
kualami. Tak ada satu orang pun yang tahu, kecuali hanya Bunga. Bibir merahnya
yang selalu merajuk, memaksaku, untuk melupakan cowok berpostur sedang itu. Namun, itu sulit bagiku. Melupakannya tak
seperti membalikkan telapak tangan. Tak semudah itu. Dan kupikir, aku harus
memutuskan hubungan dengan Radit. Tak ada komunikasi seperti dulu, tak ada
hubungan indah lagi layaknya dulu. Meskipun dia terus saja menolak, namun aku masih tetap pada pendirianku untuk tidak
berkomunikasi dengannya lagi. Hari-hariku kini hanya dihiasi benci. Entah
mengapa aku kini menyimpan kebencian dengannya. Namun, kupikir rasa itu telah
merenggut hari-hari bahagiaku. Telah menggerogoti tubuhku, yang semakin hari
semakin kering saja. Memang, terdengar berlebihan. Tapi kenyataannya memang
sulit untuk jauh dari sosok yang akhir-akhir ini telah mengisi celah kosong
dihidupku.
Seiring berjalannya waktu kebencianku berangsur hilang. Satu bulan pun
berlalu. Namun,, apakah ini takdir? Atau hanya sebuah kebetulan? Meskipun kami
bersekolah di tempat yang sama, baru kali pertama, aku bisa bertemu dengannya
saat jam olahraga kelas kami digabung. Aku
tak pernah menyangka ataupun berharap hal itu bisa terjadi. Saat jam pelajaran
selesai, dia berusaha untuk bisa berhubungan dengan lagi. Memperbaiki hubungan
“pertemanan” kita. Meskipun sudah tak pantas lagi hubungan masa laluku
dengannya itu dianggap hanya sekadar pertemanan. Aku masih tetap menolak
rengekan harapan dari Radit. Akhirnya tanpa sengaja ia bercerita tentang
perempuan pangisi hatinya itu. “Cewek itu emang
pacarku. Tapi dulu. Aku udah putus
sama dia. Maaf kalo udah ngecewain. ”jelas
Radit. Kaget rasanya denger kata-kata
itu. Dan mungkin juga agak seneng sih. Sejak saat itu senyum manisku mulai
kembali menghiasi wajah berparas Jawa
ini. Hubungan yang bisa dibilang telah rusak, mulai bisa diperbaiki. Hubungan tanpa nama itu mulai terjalin kembali
diantara kita. Tak lama, hatiku terusik dengan perasaan aneh yang mengarah pada
salah satu teman Radit. Aku tak tahu, bagaimana bisa hatiku seperti itu. Namun,
kurasa itu tak mungkin. Aku berusaha menghilangkan rasa ke cowok yang sudah
lama menjadi sahabat karibnya itu. Dan aku kembali menaruh rasa ke Radit.
Hubungan kita bisa dibilang “hubungan
tanpa nama” paling indah yang pernah aku rasakan dan jalani. Aku dan Radit saat
ini memutuskan untuk tidak menjalin hubungan spesial dengan siapapun. Dan
berusaha untuk berhenti dalam kisah “NO NAME”.
To
be continue....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar