Kamis, 19 Maret 2015

puisi 15

“Sebab Dikau”:

Kasihkan hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku

Hidup seperti mimpi
Laku lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sedar siuman bertukar-tukar

Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa-mesra

Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang

Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyelang dalang mengarak sajak.

puisi 14

INSYAF


Segala kupinta tiada kauberi
Segala kutanya tiada kausahuti
Butalah aku terdiri sendiri
Penuntun tiada memimpin jari

Maju mundur tiada terdaya
Sempit bumi dunia raya
Runtuh ripuk astana cuaca
Kureka gembira di lapangan dada

Buta tuli bisu kelu
Tertahan aku di muka dewala
Tertegun aku di jalan buntu
Tertebas putus sutera sempana

Besar benar salah arahku
Hampir tertahan tumpah berkahmu
Hampir tertutup pintu restu
Gapura rahasia jalan bertemu

Insyaf diriku dera durhaka
Gugur tersungkur merenang mata:
Samar terdengar suwara suwarni
Sapur melipur merindu temu.

puisi 13

PADAMU JUA


Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
 Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupatiada
Suara sayuo
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku ke dalam cakarmu
Bertukar tagkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mari hari-bukan kawanku

(Amir Hamzah, 1959:5)

puisi 12

Buah Rindu


Dikau sambur limbur pada senja
Dikau alkamar purnama raya
Asalkan kanda bergurau senda
Dengan adinda tajuk mahkota.

Di tuan rama – rama melayang
Di dinda dendang sayang
Asalkan kanda selang menyelang
Melihat adinda kekasih abang.

Ibu, seruku laksana pemburu
Memikat perkutut di pohon ru
Sepantun swara laguan rindu
Menangisi kelana berhati mutu

Kelana jauh duduk merantau
Dibalik gunumg dewala hijau
Diseberang laut cermin silau
Tanah jawa mahkota pulau…

Buah kenangku entah kemana
Lalu mengembara kesini sana
Haram berkata sepatah jua
Ia lalu meninggalkan beta.

Ibu lihatlah anakmu muda belia
Setiap waktu sepanjang masa
Duduk termenung berhati duka
Laksana Asmara kehilangan seroja.

Bunda waktu tuan melahirkan beta
Pada subuh kembang cempaka
Adakah ibunda menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda ?

Wah kalau begini naga – naganya
Kayu basah dimakan api
Aduh kalau begini laku rupanya
Tentulah badan lekaslah fani.

puisi 12

Teluk Jayakatera


Ombak memecah di tepi pantai
angin berhembus lemah-lembut
Puncak kelapa melambai-lambai
di ruang angkasa awan bergelut.

Burung terbang melayang-layang
serunai berseru "adikku sayang"
perikan bernyanyi berimbang-imbang
laut harungan hijau terbentang.

Asap kapal bergumpal-gumpal
melayari tasik lautan Jawa
beta duduk berhati kesal
melihat perahu menuju Semudera.

Musyafir tinggal di tanah Jawa
seorang diri sebatang kara
hati susah tiada terkata
tidur sekali haram cendera.

Pikiranku melayang entah ke mana
sekali ke timur sekali ke utara
Mataku memandang jauh ke sana
di pertemuan air dengan angkasa.

di hadapanku hutan umurnya muda
tempat asyik bertemu mata
tempat ma'syuk melagukan cinta
tempat bibir menyatukan anggota.

Pikiran lampau datang kembali
menggoda kalbu menyusahkan hati
mengingatkan untung tiada seperti
Yayi lalu membawa diri.

Ombak mengempas ke atas batu
bayu merayu menjauhkan hati
gelak gadis membawaku rindu
terkenangkan tuan ayuhai yayi.

Teja ningsun buah hatiku
lihatlah limbur mengusap gelombang
ingatlah tuan masa dahulu
adik guring di pangkuan abang?

(Hamzah 1941)

puisi 11

Di tepi pantai

Ombak berderai di tepi pantai,
Angin berembus lemah-lembut.
Puncak kelapa melambai-lambai,
di ruang angkasa awan bertabut.

Burung terbang melayang-layang,
serunai berlagu alangkah terang.
Bersuka raya bersenang-senang,
lautan haru hijau terbentang.

Asap kapal bergumpal-gumpal,
melayari tasik, Jawa segara.
Duduklah beta berhati kesal,
melihat perahu menuju Samudera.

Pikiranku melayang entah ke mana,
sekali ke Timur sekali ke Utara.
Mataku memandang jauh ke sana,
lampaulah air dengan udara.

Pikiran nan lama datang kembali,
menggoda kalbu menyusahkan hati.
Mengingatkan untung tiada seperti,
ke manakah nasib membawa diri.

Ombak mengempas di atas batu,
bayu merayu menyeri-nyeri.
Riak riuhnya mendatangkan rindu,
terkenangkan tuan aduhai, puteri.

(Hamzah 1930)

puisi 10

SAJAK PUTIH


Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…

1944